Membuka “Ruang Publik” bagi Penyandang Disabilitas

Di samping pintu masuk sebuah pusat perbelanjaan di Kota Kendari duduk 2 orang disabilitas netra pasangan suami istri, sang istri menyanyikan sebuah lagu dengan suara merdu dan mendayu diiringi suara gitar sang suami. Hampir setiap hari keduanya mencari nafkah dengan mengamen di ruang-ruang publik; di pasar, di pelelangan ikan dan di keramaian kota. Ada yang serius mendengarkan lagu mereka dan memberikan sedikit uang sebagai ungkapan apresiasi, ada yang tidak mendengarkan tapi memberi uang, ada pula yng hanya lalu lalang dan bisa jadi tidak memperdulikan atau bahkan tidak mengetahui ada sepasang suami istri yang sedang berjuang menafkahi keluarga.

Ada pula penyandang disabilitas daksa yang menjadi juru parkir disebuah swalayan, setiap hari bergelut dengan kendaraan pengunjung, mengatur dan menjaganya agar aman dan terkendali dalam arus keluar masuk swalayan.

Disektor Pendidikan, banyak anak penyandang disabilitas terpaksa tidak bersekolah karna perspektif orangtua yang memiliki anak penyandang disabilitas sebagai ‘aib keluarga’. Kondisi keuangan keluarga untuk membiayai kebutuhan khusus bagi anak penyandang disabilitas menyebabkan orangtua memilih tidak menyekolahkan anaknya. Di Kendari hanya ada 2 Sekolah Luar Biasa (SLB) Jarak Sekolah Luar Biasa (SLB) yang jauh menyebabkan anak disabilitas tidak bisa mengakses SLB.

Fenomena diatas merupakan pilihan mata pencaharian bagi penyandang disabilitas karna kurangnya akses penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Padahal Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin proses rekrutmen, penerimaan, pelatihan kerja, penempatan kerja, keberlanjutan kerja, dan pengembangan karier yang adil dan tanpa Diskriminasi kepada Penyandang Disabilitas (Pasal 45 UU No. 8/2016).  Demikian pula bagi anak penyandang disabilitas dalam mengakses pendidikan. Belum lagi akses mereka diruang publik dan hak-hak penyandang disabilitas yang sering terabaikan. Hak penyandang Disabilitas atas Pendidikan diatur dalam Pasal 40 ayat (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi pendidikan untuk Penyandang Disabilitas di setiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan kewenangannya.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disablitas menyebutkan 22 Hak Penyandang Disabilitas dan ditambah 2 hak lainnya; Perempuan dengan disabilitas dan anak dengan disabilitas. Diantara hak dasar yang diatur adalah hak hidup, hak dimata hukum, Pendidikan, Pekerjaan, Kesehatan dan hak lainnya.

Penyandang Disabilitas (dulu disebut penyandang cacat) adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak (UU No.8/2016). Data Dinas Sosial Kendari Tahun 2022 menyebutkan jumlah penyandang disabilitas sebanyak 882 orang dengan berbagai ragam disabilitasnya.

Rumpun Perempuan Sultra melakukan pendataan penyandang disabilitas di 15 Kelurahan pada akhir tahun 2022 dan mendapati 399 orang penyandang disabilitas, terdiri dari 295 orang dewasa penyandang disabilitas dan 104 anak penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas tersebut, ada yang tidak bersekolah, penyandang disabilitas yang tidak memiliki identitas kependudukan, dan penyandang disabilitas yang tidak mengakses program perlindungan sosial.

Berbagai kondisi penyandang disabilitas di Kendari, menjadi bahan advokasi Rumpun Perempuan Sultra untuk mendorong kebijakan yang mengakomodasi hak-hak penyandang disabilitas. Rumpun Perempuan Sultra menggandeng Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, dan DPRD Kota Kendari.

Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Kendari tentang Penyandang Disabilitas pernah diinisasi oleh DPRD kota Kendari, namun tidak selesai hingga tahun 2022, hanya menyisakan rancangan naskah akademis dan rancangan perda hak-hak penyandang disabilitas.

Dengan berbagai pendekatan dan langkah advokasi, RPS berhasil meyakinkan DRPD Kota Kendari untuk kembali mereview ranperda yang pernah ada, hingga melahirkan ranperda baru yang melibatkan stakeholder terkait; OPD, organisasi penyandang disabilitas (opdis), LSM dan media.

Ranperda ini juga dikonsultasikan kepada Komite Nasional Disabilitas (KND) dengan mengirimkan draft ranperda ke kantor secretariat KND dan juga asistensi langsung oleh KND saat berkunjung ke Kendari dan menghadiri pertemuan penyusunan ranperda di salah satu hotel di Kota Kendari.

Dalam penyusunan kembali naskah akademik dan rancangan peraturan daerah beberapa perubahan yang dihasilkan untuk “penyempurnaan” isi/subtansi dari raperda. Beberapa perubahan dalam rancangan peraturan daerah diantaranya; judul raperda yang sebelumnya berjudul Hak-Hak Penyandang Disabilitas di Kota Kendari menjadi Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas di Kota Kendari. Jumlah pasal yang sebelumnya 67 pasal menjadi 128 pasal.  Dengan muatan substansi yang lebih banyak sektor dan spesifik. Penyusunan ranperda telah melalui berbagai tahapan dan hingga saat ini ranperda telah dilaksanakan konsultasi publik Ranperda tentang Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, dan sedang menunggu pembahasan dan pengesahan oleh DPRD Kota Kendari.

Penulis: Sitti Zahara

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *